Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh meminta aparat penegak hukum (APH) tidak membiarkan aktivitas pembalakan haram (illegal logging) yang terjadi di Kecamatan Babahrot, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya). Apalagi praktek pengrusakan lingkungan itu dilakukan secara terang-terangan dan diduga sudah merambah hingga dalam hutan desa.
Pembalakan liar ini sudah berlangsung cukup lama, diperkirakan sejak setahun lalu. Namun hingga sekarang belum ada penegakan hukum dari pihak APH. Praktek illegal logging tersebut masih terus terjadi dan ini menimbulkan kecurigaan ada ada oknum APH yang membekingi praktek haram tersebut.
“APH, baik kepolisian, Gakkum maupun pihak terkait lainnya jangan tutup mata perambahan yang sudah berlangsung lama itu. Pembabatan hutan secara ilegal ini harus ditindak dan diberi sanksi tegas dan berat,” kata Deputi WALHI Aceh, Muhammad Nasir, Senin (10/6/2024).
Kata Nasir Buloh, sapaan akrab Deputi, semakin mengkhawatirkan pembabatan hutan yang terjadi di Kecamatan Babahrot diduga sudah masuk dalam hutan desa. Padahal status hutan desa bagian dari upaya untuk penyelamatan ekosistem hutan, termasuk memberikan manfaat sebagai penyerap karbon, menjaga keanekaragaman hayati, mencegah erosi dan menjaga tata air serta menghasilkan berbagai jenis hasil hutan bukan kayu.
Yang semakin mengkhawatirkan, sebutnya, pelaku pembalakan liar sudah mulai terang-terangan tanpa merasa takut dengan tindakan mereka. Buktinya, hasil kayu curian itu, dikumpulkan di tepi jalan raya. Seakan-akan, aktivitas kotor ini telah membudaya dan tidak bisa ditindak.
Padahal, perbuatan penebangan kayu yang secara liar atau tanpa izin resmi, merupakan pelanggaran pasal 50 ayat (3) huruf e UU 41/1999, diatur di pasal 78 ayat (5), dengan sanksi pidana paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 5 miliar Rupiah. Tentang menebang pohon, memanen atau memungut hasil hutan tanpa izin, dan melakukan pembalakan liar/illegal logging.
Termasuk pebisnis nakal (pembeli kayu illegal logging) yang dengan sengaja mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan (kayu) yang tidak dilengkapi surat keterangan sah hasil hutan, pembeli ini akan dijerat pasal 12 UU Nomor 18 Tahun 2013, namun jual beli hasil penebangan liar terus terjadi.
“Kita berharap ada keadilan untuk memberantas penebangan liar yang marak terjadi di Kecamatan Babahrot, bila lemah dalam penegakan hukum dan terus kita biarkan semakin hancur hutan di sana,” jelasnya.
Berdasarkan data acehdata.digdata.id menunjukkan, angka kehilangan tutupan hutan di Abdya yang paling tinggi terjadi di Kecamatan Babahrot, yaitu 78,5 persen dari totalnya berada di daerah tersebut.
Sejak 2015-2022 total kehilangan tutupan hutan di Kecamatan Babahrot mencapai 2.085 hektar dari total keseluruhan di Abdya seluas 2.655 hektar. Ini menunjukkan bahwa kerusakan hutan di sana cukup parah yang mengancam terjadi krisis ekologi.
Sedangkan kehilangan tutupan hutan di kecamatan lainnya ada yang di bawah 100-an hektar atau rata-ratanya hanya sekitar 113 hektar selama 2015-2022 lalu. Cukup besar terjadi disparitas angka deforestasi yang terjadi di Kecamatan Babahrot.
“Ini ancaman nyata, kalau tidak segera diatasi tunggu saja berbagai bencana bakal terjadi dan yang pasti ancaman besar bencana hidrologi dan krisis iklim,” tegasnya.
Selain itu, sebut Nasir Buloh, selain merugikan lingkungan hidup – negara juga sangat dirugikan praktek illegal logging tersebut. Karena pelaku sudah dipastikan tidak membayar pajak yang berakibat akan merusak pebisnis kayu yang resmi.
“Tentu ini APH harus segera turun tangan, jangan tutup mata atas praktek haram tersebut, kalau masih dibiarkan, patut diduga mereka juga terlibat memuluskan praktek haram tersebut,” tutupnya.
Konfirmasi Lebih Lanjut
Kontak Person:
Deputi WALHI Aceh, M Nasir (081263161183)
Kadiv Advokasi & Kampanye, Afifuddin Acal (085361616931)