MEMPERTAHANKAN RUANG HIDUP DAN PENGHIDUPAN DI KAWASAN BEUTONG ATEUH BENGGALANG MERUPAKAN HARGA MATI

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)  merupakan dokumen perencanaan yang  mengatur penggunaan lahan dan tata ruang suatu wilayah, baik dalam skala daerah, kabupaten/kota, maupun nasional. RTRW bertujuan untuk mengarahkan pengembangan fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan dalam suatu wilayah agar berjalan sejalan dengan visi dan misi pembangunan yang telah ditetapkan. RTRW setidaknya mengatur komponen antara lain:

1.   Penggunaan Lahan: Menentukan jenis kegiatan atau fungsi yang diperbolehkan di berbagai wilayah, seperti pemukiman, industri, pertanian, kawasan lindung, dan lain sebagainya.

2. Pola Ruang: Merencanakan distribusi dan hubungan antarwilayah, termasuk transportasi, infrastruktur, dan konektivitas antara berbagai kawasan.

3.   Pengembangan Wilayah: Menetapkan arah dan prioritas pembangunan dalam jangka waktu tertentu, termasuk sektor ekonomi, sosial, dan lingkungan

4.   Pelestarian Lingkungan: Mengidentifikasi kawasan-kawasan yang harus dilestarikan atau dilindungi karena memiliki nilai ekologis atau budaya yang tinggi.

5.   Partisipasi Publik: Melibatkan masyarakat, stakeholder, dan pihak-pihak terkait dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan terkait tata ruang wilayah.

RTRW juga berfungsi sebagai acuan bagi penyusunan rencana tata ruang tingkat lebih detail, seperti Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Rencana Detail Tata Ruang Kawasan (RDTRK). RTRW biasanya disusun dengan melibatkan pemerintah daerah, akademisi, masyarakat, dan berbagai pihak terkait.

Penyusunan dan implementasi RTRW sangat penting untuk menghindari masalah tumpang tindih penggunaan lahan, konflik antar kegiatan, dan degradasi lingkungan. Dengan adanya RTRW yang baik, diharapkan pembangunan suatu wilayah dapat berlangsung berkelanjutan dan seimbang antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Namun sayangnya dalam realisasi Pembangunan, dengan alasan “demi pertumbuhan ekonomi” semangat RTRW untuk menjadi acuan dalam pembangunan malah seringkali dikangkangi. Sebagai contoh sederhana adalah terjadinya perubahan tata guna lahan,  yang semestinya kawasan lindung atau non-budidaya demi mewujudkan proyek tertentu dipaksakan untuk diubah menjadi kawasan budidaya atau lainnya. Perubahan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan arahan tata ruang dan tidak sesuai dengan kondisi biofisik  lapangan telah menimbulkan kerusakan-kerusakan lingkungan yang berpotensi bahkan telah menyebabkan bencana.

Inilah yang saat ini terjadi di Kecamatan Beutong Benggalang Kabupaten Nagan Raya, Aceh. Beutong Benggalang hari ini terus dihantui akan eksploitasi ruang hidup dan penghidupan masyarakat yang mengatasnamakan pertumbuhan ekonomi rakyat seperti rencana eksploitasi sumber daya alam seperti tambang emas dan perizinan konsesi logging.

Sehubungan hal ini ada berbagai hal lain yang perlu diperhatikan terkait eksploitasi sumber daya alam Beutong Benggalang:

1.   Situs Sejarah

Putusan  Kasasi  Mahkamah Agung  RI  Nomor  91  K/KTUN/LH/2020  terkait  gugatan pencabutan Izin Usaha Pertambangan PT. Emas Mineral Murni, salah satu pertimbangan Mahkamah Agung adalah lokasi-lokasi paling bersejarah di Provinsi Aceh. Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa:

Bahwa di areal Izin Usaha Pertambangan tersebut juga mengenai lokasi-lokasi paling bersejarah di Provinsi Aceh, antara lain: (i) kuburan massal pasukan Cut Nyak Dien berjarak ± 1,5 km dari lokasi penambangan; (ii) Kuburan Ulama Besar Tengku Alue Panah berjarak ± 1 km dari lokasi penambangan; (iii) Lokasi pembuangan mayat murid Tengku Bantaqiah (kasus pelanggaran HAM berat yang dakui dunia) berjarak ± 1,5 km dari lokasi penambangan”.

Pertimbangan Mahkamah Agung  ini telah  melegitimasi bahwa  objek-objek  ini harus dilindungi. Oleh karena itu harus dipastikan adanya upaya serius untuk melindungi area ini dengan setidaknya memuat dalam rencana tata ruang wilayah baik kabupaten maupun provinsi, utuk memastikan tidak terjadinya tumpang tindih peruntukan ruang.

2.   Nilai Ekologi dan Lingkungan

Hutan Beutong Ateuh adalah habitat alam bagi berbagai spesies satwa dan tumbuhan

dilindungi. Kegiatan perusakan kawasan hutan seperti  pertambangan berpotensi mengganggu ekosistem dan merusak keanekaragaman hayati. Dampak negatif ini dapat mengancam  keberlangsungan lingkungan alam  dan sumber daya air yang penting bagi masyarakat. Pengurangan tutupan hutan dipastikan berdampak pada banyak hal antara lain perubahan iklim, mengingat hutan berperan penting dalam menyerap karbon dioksida (CO2) dari atmosfer. Pengurangan tutupan hutan dapat mengurangi kapasitas penyerapan karbon, yang berpotensi mempercepat perubahan iklim global. Berkurangnya tutupan hutan  juga  akan  berdampak  pada  erosi  dan  banjir,  karena  hutan  memainkan  peran penting  dalam menahan air dan mengatur aliran air. Selain itu, hutan berkontribusi pada penyaringan udara  dan air, membantu mengurangi polusi dan menjaga kualitas udara dan air yang lebih baik. Masyarakat Beutong Ateuh memiliki keterkaitan kuat dengan hutan dalam aspek ekonomi, budaya dan tradisi. Karena itu, usaha-usaha atau kegiatan yang berdampak pada pengrusakan dan atau pengurangan kawasan/ tutupan hutan dipastikan dapat berakibat buruk seperti terganggunya tradisi/ adat serta aktivitas  ekonomi lokal seperti perkebunan dan pertanian. Di samping itu, dikhawatirkan dapat terganggu atau rusaknya situs -situs sejarah dan budaya yang dijaga masyarakat untuk tujuan pelestarian sejarah.Oleh karena itu, menjaga dan melestarikan tutupan hutan menjadi penting dalam rangka mempertahankan keseimbangan ekosistem, mitigasi perubahan iklim dan kesejahteraan masyarakat.

3.   Bencana Ekologi

Provinsi Aceh adalah kawasan paling barat Indonesia yang memiliki luas 56.770 kilometer

persegi atau 5.677.081 hektare. Aceh adalah kawasan potensial gempa dan tsunami karena terletak pada pertemuan tiga lempeng raksasa; Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik, serta berada pada cincin api (Ring of Fire). Pengalaman bencana tsunami pada 26 Desember

2004 lalu, bukanlah hal pertama bagi Aceh. Wilayah paling barat Indonesia ini, pernah

mengalami beberapa kali tsunami di masa lalu yang menelan banyak korban jiwa, meruntuhkan peradaban dan perubahan pola hidup masyarakatnya.

Pada dasarnya, selain faktor alam, terjadinya bencana juga karena campur tangan manusia. Kejadian bencana alam seperti banjir, erosi dan kekeringan adalah imbas dari pengelolaan tata ruang yang tidak melalui kajian lingkungan yang tepat. Bencana akan selalu menimbulkan kerugian, selain nyawa juga aset lainnya milik negara, dan milik rakyat.

Berdasarkan Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Aceh (RTRWA) Tahun 2013-2033 (selanjutnya disebut Qanun Tata Ruang Aceh),

Kecamatan Beutong Benggalang termasuk kawasan rawan bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, kekeringan gempa bumi dengan skala VII-XII MMI (Modified Mercalli Intensity) artinya skala VII merupakan intensitas gempa dalam kategori “sangat kuat”, skala VIII “parah” skala IX “hebat”, skala X “ekstrem”, skala XI “ekstrem”, dan skala XII “ekstrem”, kawasan/zona patahan aktif, rawan abrasi, kawasan bahaya gas beracun kimia dan logam berat meliputi wilayah-wilayah gunung api, dan rawan polusi air, udara dan tanah. Sehingga kondisi Bentang  Alam  Beutong Ateuh  Benggalang  yang demikian Faktanya,  secara Aktual bilamana terjadinya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Pertambangan secara nyata, akan menimbulkan  kerusakan hebat yang nyata akan menimbulkan kerugian yang besar terhadap masyarakat  Beutong Ateuh Benggalang dan kerusakan sumber daya alam secara Global.

4.   Kawasan Ekosistem Leuser

Beutong Benggalang juga merupakan bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang memiliki   Status   Hukum   Khusus   sebagai   Kawasan   Strategis   Nasional   Fungsi

Perlindungan Lingkungan No. 26 Tahun 2007 Jo No. 26 Tahun 2008, yang melarang segala kegiatan yang mengurangi fungsi lingkungan termasuk budidaya dan pembangunan infrastruktur dan Penetapan Kawasan berdasarkan Keppres Nomor 33

Tahun 1998 Tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser.

Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) merupakan lanskap dengan luas 2.6 juta hektar yang terbentang di dua provinsi yaitu Aceh dan Sumatera Utara. Wilayah ini secara alami terintegrasikan oleh keunikan bentangan alam, keunikan tumbuhan dan satwa, keseimbangan habitat sebagai pendukung keberlanjutan keanekaragaman hayati dan keunikan lainnya sehingga membentuk suatu ekosistem tersendiri. Cakupan luasan dengan berbagai tipologi bentang alam menempatkan KEL sebagai suatu kesatuan ekosistem yang harus mendapat perhatian dan prioritas dalam pengelolaan serta memastikan kelestariannya. Lebih dari 3 juta manusia tergantung dengan kawasan ini baik langsung maupun tidak langsung. Keseimbangan tata air dan berbagai jasa ekosistem yang berasal dari kawasan ini merupakan kebutuhan penting dan esensial untuk keberlanjutan kehidupan terutama bagi Aceh dan kawasan sekitarnya.

Terkait  pengelolaan KEL telah diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, Pasal 150 menyebutkan bahwa Pemerintah Aceh ditugaskan untuk melakukan pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser di wilayah Aceh dalam bentuk perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari, dan Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabpaten/kota dilarang mengeluarkan izin pengusahaan hutan dalam kawasan ekosistem leuser.

5.   Perdebatan Kebijakan

Bahwa  sejak  PT. EMM  (Emas Mineral Murni) telah diterbitkan izin untuk melakukan kegiatan pertambangan emas di Areal dan Kawasan Beutong Ateuh Benggalang, atas  izin yang diterbitkan tersebut, seluruh Masyarakat Beutong Ateuh Benggalang  melakukan penolakan atas diterbitkan izin  PT EMM (Emas Mineral Murni), tindakan mana masyarakat  Beutong,  menggalang  Koeksistensi  Penguatan  Masyarakat  dengan membentuk kelompok yang diberi nama Generasi Beutong Ateuh Benggalang (GBAB) dan Otoritas Tolak Tambang (OTT)  sebagai  bentuk  penolakan bersama atas izin yang

diterbitkan oleh Pemerintah  In Casu Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia (KBKPM) tersebut, GBAB kemudian melakukan aksi penolakan secara   damai  di  Kabupaten  Nagan   Raya   dan   melakukan   Penyampaian  Aspirasi Penolakan Izin terhadap PT. EMM  kepada  DPRK Nagan Raya serta melakukan aksi demo secara Masif di Kantor Gubernur Aceh bersama seluruh elemen Masyarakat Aceh dan Mahasiswa;

Namun, Pemerintah  tidak  “bergeming” terhadap aksi penolakan tersebut, yang merupakan  bentuk  nyata atas  keresahan  masyarakat  atas  dampak  yang akan terjadi oleh aktivitas penambangan yang diterbitkan izin kepada PT EMM (Emas Mineral Murini) di Kawasan Beutong Ateuh Benggalang, sehingga masyarakat yang diwakili oleh Otoritas Tolak Tambang (OTT) melakukan upaya hukum secara Litigasi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan mengajukan gugatan  kepada Kepala Badan Koor dinasi Penanaman Modal Republik Indonesia (KBKPM) dan kepada PT. EMM (Emas Mineral Murni), dimana Mahkamah Agung RI telah membatalkan izin PT. EMM (Emas Mineral Murni)  dan  memenangkan seluruh tuntutan yang  diajukan oleh Masyarakat  Beutong melalu perwakilannya;

Namun setelah dibatalkannya izin yang diterbitkan kepada PT. EMM (Emas Mineral Murni) tersebut oleh Putusan Mahkamah Agung, R.I., yang telah berkekuatan hukum tetap, ternyata Pemerintah, kembali  mencoba untuk  memberikan  hak atas permohonan dan atau usulan oleh Perusahan lain di kawasan Beutong Ateuh Benggalang yaitu kepada PT. Bumi Mentari  Energi (PT. BME), namun dikarenakan Persyaratan Administrasi Permohonan tersebut harus dilengkapi dengan persetujuan 4 (Empat) desa yang berada di kawasan Beutong  Ateuh  Benggalang, maka dikarenakan  masyarakat  4 (Empat) desa tersebut membuat Surat Pernyataan Menolak segala perizinan atas PT. Bumi Mentari Energi/sejenisnya, maka proses  izin  saat ini telah berhenti, akan tetapi masih adanya dugaan pihak perusahaan atau pun pihak terkait yang ingin mengeksplorasi dan mengeksploitasi Kawasan Beutong Ateuh Benggalang masih membuat Skema Manajemen Konflik lain di Kawasan tersebut dengan melakukan segala cara untuk mencari alasan sehingga dapat memperoleh  Izin Tambang, salah satunya diduga yang terjadi saat ini adalah dengan menggunakan skema Areal Penggunaan Lain (APL) untuk dijadikan areal bagi mantan Para Kombatan GAM  (Gerakan Aceh Merdeka) dan Masyarakat Korban Konflik, melakukan kegiatan Sawmill dalam kawasan tersebut, yang nantinya akan dapat dijadikan alasan untuk Perusahaan dapat masuk ke kawasan Beutong Ateuh Benggalang, karena ternyata areal tersebut juga dapat dimanfaatkan pihak lain selain perusahaan yang mengajukan  Permohonan  Tambang.  Terhadap  fakta tersebut  yang  terjadi  saat  ini di Kawasan Beutong Ateuh Benggalang, masyarakat Beutong secara keseluruhan tetap pada prinsipnya semula yaitu tetap  menolak  segala bentuk Eksplorasi dan  Eksploitasi  jenis apapun di kawasan Beutong Ateuh Benggalang.

Oleh karena hal tersebut penting dan urgent bagi pemerintah untuk memahami bahwa kawasan Beutong Ateuh Benggalang merupakan areal atau kawasan yang tidak memungkinkan untuk dilakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi segala sumber dayanya meskipun kaya dengan berbagai sumber daya.

REKOMENDASI

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan, maka kami merekomendasikan beberapa hal sebagai

berikut

1.   Menghentikan segala rencana aktivitas pertambangan di kawasan Beutong Ateuh dalam rangka melestarikan hutan dan mencegah terjadinya bencana ekologi di daerah ini.

2.   Menetapkan Kawasan Beutong Ateuh Benggalang sebagai kawasan pelestarian penting situs sejarah  provinsi Aceh dengan jangka waktu tidak terbatas.

3.   Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten Nagan Raya agar melestarikan situs sejarah yang ada di Beutong Ateuh Banggalang

4.   Pemerintah Aceh dan khususnya pemerintah Nagan Raya  untuk dapat meningkatkan produktivitas komoditas pertanian dan perkebunan di Beutong Ateuh Banggalang

5.   Pemerintah Aceh,  untuk  dapat  melakukan  intervensi   mitigasi pada Kawasan Rawan

Bencana Alam di Kawasan Beutong Ateuh Banggalang

6. Meminta Pemerintah Nagan Raya untuk mengedukasi masyarakat Beutong Ateuh Banggalang terhadap hak-hak lingkungan hidup dan edukasi terhadap pelestarian lingkungan khususnya di kawasan hutan alam Beutong Ateuh Benggala

7.   Pemerintah Aceh dan Pemerintah Nagan Raya untuk dapat menfasilitasi pembentukan ke empat (4) Gampong di Kecamatan Beutong Ateuh sebagai Program Kampung Iklim

8.   Pemerintah Aceh untuk dapat menfasilitasi Perhutanan Sosial melalui skema Hutan Desa pada empat (4) gampong di Kecamatan Beutong Banggalang

9.   Pemerintah Aceh, harus menekankan regulasi kekhususan Aceh yang merupakan    Lex Spesialis Sistemastis dalam kerangka hukum nasional kepada Pemerintah Pusat khususnya terkait kawasan Beutong Ateuh Banggalang yang telah terakomodir di dalam UU Pemerintah Aceh Jo Qanun Aceh maupun Qanun Kab/Kota tentang RTRW yang wajib ditaati dan dilaksanakan Pemerintah Pusat, sehingga kebijakan Pusat  yang  menabrak Qanun Aceh merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum;

10. Pemerintah  Aceh,   secara   ex   officio  harus   menyatakan  kawasan   Beutong   Ateuh Banggalang   merupakan  kawasan  tertutup untuk  kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan dalam jenis apapun, dengan mengeluarkan Beutong Ateuh Banggalang dari wilayah pertambangan Aceh

11. Pemerintah harus memastikan keterlibatan masyarakat dalam setiap rencana kebijakan di kawasan Beutong Ateuh Banggalang

12. Pemerintah   Aceh   Memasukan   dan   segera   menetapkan   Kawasan   Beutong   ateuh banggalang sebagai kawasan lindung hidrologi bagian dari ekosistem Leuser sebagai kawasan strategis Nasional

Referensi

1.   Putusan Mahkamah Agung, R.I. Nomor : 91/K/TUN/LH/2020;

2.   Keppres Nomor 33 Tahun 1998 Tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser;

3.   Surat Pernyataan bersama masyarakat Beutong Ateuh Banggalang terhadap Perizinan PT.

Bumi Mentari Energi/Sejenisnya;

4.   Komite Warisan Dunia oleh UNESCO  sebagai bagian dari Warisan Hutan Hujan Tropis

Sumatera yang dikukuhkan pada tahun 2004 sebagai sesi ke-28;

5.   Qanun Aceh No 15 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batu

Bara;

6.   Keputusan Gubernur Aceh Nomor : 522/1246/2023 Tentang Penetapan Peta Indikatif

Koridor Hidupan Liar sebagai Kawasan Ekosistem Esensial Provinsi Aceh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *