KITA JAGA BUMI, BUMI JAGA KITA

Saat inilah kita semua perlu merefleksikan kebijakan, tindakan dan keputusan pribadi yang dapat mempengaruhi bumi. Momentum peringatan Hari Bumi 2024, perlu kita merenungkan pentingnya menjaga planet dan menjaga lingkungan yang berkelanjutan.

Mulai dari mengurangi sampah plastik hingga mendukung upaya-upaya pelestarian alam, setiap langkah kecil dapat membuat perbedaan besar. Mari jadikan setiap hari sebagai Hari Bumi dengan melakukan bagian kita untuk mewariskan planet yang lebih baik kepada generasi mendatang.

Pada 22 April 2024 lalu manusia dari seluruh penjuru planet ini bersatu dalam satu suara untuk mengingatkan  pentingnya  menjaga  bumi.  Di  tengah  tantangan  lingkungan  yang  semakin mendesak, kita merenungkan dampak dari aktivitas manusia terhadap planet ini, dan menyatukan tekad untuk bertindak lebih bertanggung-jawab terhadap rumah kita bersama.

Terutama anak muda yang akan mewariskan estafet kepemimpinan bangsa masa yang akan datang. Dengan populasi pemuda di Indonesia lebih 60 persen, tentunya penting untuk meningkatkan kesadarannya agar peduli terhadap bumi yang kian tua saat ini akibat ulah manusia sendiri.

Apa lagi pemimpin bangsa saat ini mayoritas sudah renta, butuh anak muda   mengisi kepemimpinan bangsa yang berspektif lingkungan hidup. Sehingga bumi yang kian sengkarut dapat dinikmati generasi yang akan datang.

Dalam peringatan ini, kita menggugah kesadaran akan pentingnya keberlanjutan dan perlindungan lingkungan. Kita menyerukan tindakan nyata untuk mengurangi jejak karbon, melindungi keanekaragaman hayati, dan menjaga sumber daya alam. Hari Bumi bukanlah sekadar hari perayaan, tetapi juga panggilan untuk bertindak secara nyata.

Terutama diperlukan gerakan nyata dalam mengelola sampah, terutama plastik yang semakin meresahkan dunia.  Tak terkecuali Indonesia, sampah plastik pada 2023 mengalami peningkatan dibandingkan dua tahun sebelumnya.

Jumlah timbulan sampah di Indonesia selama 5 tahun terakhir terus meningkat, peningkatan yang paling tinggi terjadi pada 2022 lalu mencapai 37,4 juta ton, meningkat 31,56 persen dibandingkan

2021. Lalu turun pada 2023 lalu separuh lebih dengan total timbulan hanya 17,36 juta ton.

Kendati secara jumlahnya turun, namun yang menjadi pekerjaan rumah justru penggunaan plastik meningkat pada 2023 lalu. Komposisi sampah plastik pada 2022 sebanyak 17,99 persen dari total timbulan,  justru  meningkat  pada  2023  menjadi  18,33  persen.  Sehingga  tidak  salah  banyak kalangan menyebutkan dunia sedang dikepung oleh sampah plastik.

Lalu bagaimana dengan kondisi persampahan di Provinsi Aceh. Ternyata juga tidak sedang baik- baik saja. Di tengah kebijakan pemerintah yang belum menyentuh ke akar masalah, yaitu mengurangi sampah dari hilir, jumlah dan komposisi sampah plastik juga mengalami peningkatan.

Total timbulan sampah di Aceh juga cenderung meningkat sejak 2019 hingga 2022. Sampah yang paling banyak terkumpul di Serambi Mekkah terjadi pada 2022 lalu sebanyak  597 ribu ton, meningkat 2 kali lipat atau naik 203 persen dibandingkan 2021 yang hanya terkumpul 197 ribu ton sampah.

Kendati pada 2023 lalu jumlah sampah di Aceh menurun drastis menjadi 341 ribu ton, namun bila dibandingkan timbulan pada 2021 jumlah mengalami peningkatan 73,10 persen. Dengan kondisi seperti ini semakin jelas bahwa tata kelola persampahan di Aceh perlu disoroti.

Begitu juga bila ditinjau dari komposisi sampah. Sampah plastik masih mendominasi di Aceh, misalnya pada 2022 lalu sampah plastik mencapai 21 persen, kendati menurun pada 2021 hanya

18 persen. Namun tidak bisa berbangga ada penurunan, karena bila dibandingkan pada 2021 lalu,

jumlahnya meningkat.

Persoalan yang dihadapi kerusakan bumi tidak hanya sampah. Deforestasi juga menjadi ancaman serius       di       Indonesia,       khususnya       di       Aceh.       Berdasarkan       SK       Nomor

580/MENLHK/SETJEN/SET.1/12/2018  total  luas  kawasan  hutan  Aceh  mencapai  3.551.329

hektar,  dengan  rinciannya;  Hutan  Lindung  1.783.064  hektar,  mengalami  peningkatan  seluas

38.824 hektar dibandingkan dengan SK 2015 yang hanya seluas 1.744.240 hektar.

Hutan Produksi Terbatas (HPT) dalam SK terbaru 145.389 hektar, Hutan Produksi (HP) 548.740 hektar,  Hutan  Produksi  Konversi  (HPK)  15.388  hektar  dan  Hutan  Konservasi  (HK)  seluas

1.058.748 hektar.

Upaya perlindungan dan perbaikan hutan di Aceh belum jamak dibicarakan di ruang publik. Padahal kondisi hutan Aceh sekarang sedang tidak baik-baik saja, menjadi ancaman besar terhadap pembangunan, konflik manusia dengan satwa, bencana banjir hingga terjadinya krisis iklim.

Data   acehdata.digdata.id   rentang   waktu   2018-2019   meningkat   0,46   persen,   artinya   ada penambahan seluas 69 hektar. Meskipun luasannya tidak mencapai 1 persen, namun bila terus dibiarkan tanpa ada penanganan dan rehabilitasi hutan kembali, kondisi hutan Aceh bakal terus terdegradasi.

Meskipun ada penurunan deforestasi pada 2020 – 2021 sebesar 61,17 persen, namun pemerintah tidak mampu pertahankan. Karena deforestasi pada 2021-2022 kembali naik sekitar 3,78 persen, yaitu  bertambah 355 hektar, menjadi 9.383 hektar pada 2022.

Pemerintah Aceh belum mampu mengendalikan deforestasi – mengingat kemampuan untuk reboisasi rata-rata hanya 785 hektar per tahun yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan

Kehutanan (DLHK) Aceh. Faktanya jauh panggang dari api bila hendak memulihkan hutan dengan kemampuan reboisasi hutan dari pemerintah Aceh. Karena data menunjukkan, rata-rata laju deforestasi hutan Aceh seluas 14.527 hektar per tahun dalam kurun waktu 2015 – 2022.

Sementara total deforestasi selama 8 tahun terakhir ini seluas 130.743 hektar. Bila dibandingkan dengan kemampuan pemerintah melakukan reboisasi, maka diperkirakan butuh waktu sekitar 171 tahun untuk mengembalikan tutupan hutan yang rusak, itu pun dengan syarat 2023 hingga seterusnya tidak ada deforestasi.

Ancaman lainnya yang sangat serius adalah Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) masih menjadi persoalan klasik di Aceh yang belum mampu diselesaikan oleh pemerintah Aceh. Parahnya berada dalam Daerah Aliran Sungai (DAS), hutan lindung hingga masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

Hal     yang     mengejutkan     pada     2022     lalu     keluarnya     Kepmen     ESDM     Nomor:

89.K/MB.01/MEM.B/2022  tentang Wilayah Pertambangan Provinsi Aceh. Peraturan ini telah memuluskan Pemerintah Aceh untuk mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Serambi Mekah. Tentunya akan menambah wajah suram kondisi lingkungan hidup di Bumi Iskandar Muda.

PETI di Aceh tersebar di tujuh kabupaten, yaitu Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Tengah dan Pidie. Semuanya tidak lagi bisa disebut tambang tradisional, karena saat ini sudah menggunakan peralatan canggih, seperti eskavator maupun lainnya menggunakan teknologisasi.

Hasil pemetaan WALHI Aceh hingga Juni 2023, PETI mayoritas berada di DAS dan dilakukan secara terbuka dengan menggunakan alat berat. Sehingga kondisi fisik sungai berubah dan air menjadi keruh yang berdampak serius terhadap lingkungan hidup hingga kesehatan manusia.

Hasil pemetaan yang dilakukan tim Geographic Information System (GIS) selama Juli-Agustus

2023, ada terjadi disparitas angka antara milik ESDM  dan WALHI Aceh sebesar 49,13 persen.

Luas PETI yang dikeluarkan Dinas ESDM Aceh seluas 1.719,65 hektar yang tersebar di enam kabupaten, yaitu Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Jaya, Aceh Tengah dan Pidie. Sedangkan WALHI Aceh mendapatkan seluas 3.500 hektar yang berada di 7 kabupaten, yaitu Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Jaya, Aceh Tengah, Aceh Besar dan Pidie.


Ada terjadi perbedaan angka sebesar 1.780 hektar lebih luas hasil pemetaan yang dilakukan WALHI Aceh atau setara dengan 27 kali luas areal Jakarta International Stadium (JIS), Indonesia yang luasnya hanya sekitar 67 hektar. Dati total deforestasi di kabupaten yang ada tambang seluas

34.703  hektar, 10,09  persen akibat  adanya  PETI.  PETI juga merambah  61,19  persen  dalam kawasan hutan atau setara dengan 2.142 hektar dan dalam Areal Penggunaan Lain (APL) 38,81 persen atau 1.358 hektar.

Separuh dari luasan PETI berada di Kabupaten Nagan Raya, yaitu seluas 1.930,76 hektar atau sekitar 55,80 persen. Lalu Aceh Barat 38,14 persen dengan luasan 1.359,53 hektar peringkat kedua dan ketiga Kabupaten Pidie seluas 136,35 hekar atau 3,95 persen dari total PETI 3.500 hektar lebih.

PETI juga merambah 99 persen di DAS yaitu DAS Woyla, Teunom, Suengan, Meureubo, Kluet, Meukek, Jambo Aye, Tripa, Krueng Aceh dan Sabe. Sehingga keberadaan DAS tersebut saat ini selain  terancam  semakin  rusak  parah,  juga  berpotensi  tercemarnya  zat  kimia  dari  proses pengolahan emas.

Lalu PETI juga masuk dalam KEL seluas 2.318 hektar, atau sekitar 66,23 persen dari luasan tambang emas ilegal. Yaitu berada di Nagan Raya seluas 1.922,34 hekar, lalu posisi kedua di Aceh Barat seluas 354,86 hektar dan Aceh Selatan 41,16 hektar.

Angka ini diperkirakan akan terus bertambah seiring waktu, mengingat proses penambangan data dilakukan periode Januari-Agustus 2023, diperkirakan akan bertambah 4 kali lipat bila dihitung selama tahun penuh.

Selain itu bencana banjir masih menyisakan catatan buruk bagi Pemerintah Aceh, karena belum mampu menanganinya secara komprehensif dan terintegrasi dan ini sudah berlangsung puluhan tahun.. Sehingga tidak berlebihan bisa disebut Aceh sudah darurat ekologis. Mitigasi seharusnya dilakukan menyeluruh, tetapi yang dilakukan seperti pemadam kebakaran.

Pemicu utama banjir di Aceh karena kerusakan daerah resapan air di hulu dan sedimentasi sungai yang rusak. Pada saat yang sama, curah hujan juga tinggi. Selain itu banyak kawasan resapan air di hulu dalam keadaan rusak karena tutupan hutan berkurang.

Lahan yang seharusnya menjadi daerah resapan kini beralih fungsi menjadi perkebunan besar, seperti sawit, penebangan liar dan investasi yang rakus ruang. Termasuk pembangunan jalan tembus yang melintas kawasan hutan telah memicu semakin marak illegal logging.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, menilai, kabupaten yang sering banjir merupakan daerah yang tingkat kerusakan hutan masif. Secara alami, setiap akhir tahun intensitas hujan di Aceh memang tinggi, tetapi karena kondisi lingkungan yang kritis, memicu bencana, baik banjir bandang, banjir dan longsor maupun berbagai jenis lainnya.

Berdasarkan data dirilis Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) jumlah bencana di Aceh menurun  sepanjang  2023  sebanyak    418  kali  dibandingkan  2022 lalu 469  kejadian.  Namun kerugiannya justru meningkat 28 persen.

Selama tiga tahun ini (2021-2023), trennya kerugiannya terus meningkat. Pada 2021 lalu kerugiannya Rp 235 miliar naik 30 persen pada 2022 menjadi Rp 335 miliar dan terus meningkat

pada 2023 lalu menjadi Rp 430 miliar. Bencana juga menyebabkan 9 orang meninggal dunia, 10 orang luka-luka dan berdampak terhadap 289.235 jiwa serta 25.020 mengungsi.

.

Kebakaran pemukiman bencana paling tinggi terjadi di Aceh sebanyak 149 kali dengan taksir kerugian mencapai Rp 87 miliar. Sedangkan bencana banjir dengan jumlah total kejadian 105 kejadian, kerugian yang dialami hanya selisih 33 persen, yaitu total kerugiannya sebesar Rp 58 miliar.

Banjir juga berdampak serius terhadap perekonomian warga dan kerugian negara. Bencana hidrologi mengakibatkan 15 tanggul rusak dan 4.838 hektar sawah terendam yang mengakibatkan gagal panen. Begitu juga merusak infrastruktur, yaitu 8 jembatan, 15 tanggul selama 2023 lalu.

Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) juga tidak bisa diabaikan kejadian bencana di Aceh, karena berada di peringkat ketiga tertinggi. Jumlah kejadiannya sebanyak 85 kali dengan luas lahan yang hangus seluas 252 hektar.

Bencana angin puting beliung juga tidak bisa diabaikan dengan jumlah kejadian 44 kali dan berada pada posisi keempat. Karena bencana ini mengakibatkan kerugian langsung pada masyarakat, yaitu merusak 306 rumah warga dengan total kerugian sebesar Rp 87 miliar, sama dengan kerugian yang dialami kebakaran pemukiman.

Selanjutnya bencana longsor 27 kali, namun kerugian tidak main-main mencapai Rp 2,2 miliar. Namun parahnya, kendati banjir bandang hanya 3 kali kejadian, namun jumlah kerugian akibat bencana ini cukup parah, yaitu mencapai Rp 18 miliar lebih. Banjir bandang ini berkaitan erat dengan semakin tingginya kehilangan tutupan hutan dan kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang cukup parah terjadi di Serambi Mekkah.

Semua bencana yang terjadi di Tanah Rencong juga berdampak rusaknya 84 sarana pendidikan, satu sarana kesehatan, 4 sarana pemerintah dan 46 rumah ibadah ikut rusak. Dampak lainnya 168 ruko, 22 jembatan, 32 tanggul rusak dan 333 meter badan jalan ambruk karena banjir dan longsor. Begitu juga ada 1.987 rumah rusak akibat kebakaran pemukiman dan angin puting beliung, banjir dan longsor.

Beberapa fakta tersebut menunjukkan bahwa kondisi lingkungan hidup di Aceh sedang tidak baik- baik saja, terutama kondisi ekologis. Ini akibat berbagai kegiatan yang tidak ramah lingkungan serta invasi korporasi yang rakus lingkungan belum dapat dibandung, termasuk pertambangan ilegal yang masih marak terjadi, tanpa ada penegakan hukum.

Dampak dari sengkarut ruang atas kerusakan bumi juga berdampak terhadap satwa, terutama yang dilindungi. Dalam rentang waktu 2019 – 2023 WALHI Aceh mencatat terdapat 113 kejadian konflik satwa dengan manusia, yaitu konflik Gajah 33 kejadian, Harimau 68 kejadian, orangutan

11 kejadian, dan Badak satu kejadian.

Akibat konflik tersebut berdampak terhadap korban jiwa 3 orang, korban luka – luka 12 orang, kematian satwa 34 ekor, dan satwa terluka 30 ekor. Dengan rincian kematian Gajah 22 ekor berada di Aceh Jaya 7 ekor, Aceh Timur 5 ekor, CRU 2 ekor, Bener Meriah 2 ekor, Pidie 2 ekor, Aceh Tenggara 2 ekor, dan Langsa 1 ekor.

Kemudian kematian Harimau 11 ekor, berada di Aceh Timur 3 ekor, Aceh Selatan 4 ekor, Aceh Tenggara 3 ekor, dan Bener Meriah 1 ekor. Sedangkan kematian orangutan sebanyak satu ekor di kabupaten Aceh Singkil.

Pada tahun 2023 WALHI Aceh melakukan assessment terkait konflik gajah dengan manusia di DAS Krueng Peusangan. Ditemukan persoalan utama pemicu konflik adalah pada pemanfaatan ruang yang sama. Masyarakat dan gajah membutuhkan ruang yang sama dengan tujuan yang berbeda.

Karenanya, memisahkan ruang dapat mengurangi/menghilangkan konflik untuk jangka panjang. Selain itu berlaku standar ganda dalam penanganan konflik oleh pihak BKSDA, sehingga terjadi kesenjangan antara penanganan gajah mati dengan penanganan ketika gajah masuk perkebunan atau permukiman penduduk.

Dari hasil assessment di atas, WALHI Aceh berkesimpulan; Konflik Gajah – Manusia di DAS Krueng Peusangan jika tidak segera ditangani maka akan terjadi krisis kelaparan. Karena sejak konflik terjadi pada 2016 lalu, 90 persen warga yang pekerjaan sebagai petani perkebunan harus mencari pekerjaan baru, karena lahan mereka tidak bisa lagi digarap.

Sudah saatnya “Kita  Jaga Alam,  Alam  Jaga Kita”,  sehingga planet yang kian suram segera teratasi. Atas dasar itu kami Anak Muda Peduli Lingkungan Aceh menuntut:

1.   Mendesak pemerintah Aceh untuk konsisten/serius pengawasan lingkungan hidup dampak dari eksploitasi SDA oleh industri ekstraktif

2.   Memperketat aspek perizinan

3.   Mendesak APH untuk menindak segala bentuk kegiatan ilegal yang dapat merusak bumi

4.   Meminta kepada masyarakat, khususnya anak muda untuk pro-aktif menjaga bumi dari segala bentuk ancaman

Kontak Person: Arhami (Korlap): 082273753592 dan Aris Munandar (082290244852)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *